Opini – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengakhiri segala perdebatan panjang menyangkut Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Kota Palopo Tahun 2024 melalui Putusannya Nomor: 326/PHPU.WAKO-XXIII/2025 yang dibacakan pada Selasa, 08 Juli 2025 dengan menyatakan permohonan Pemohon “tidak dapat diterima”.
Pada awalnya Keraguan muncul akan Perkara ini, apakah akan diperiksa/diadili oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebab selisih suara antara pemohon dan peraih suara terbanyak melebihi 2% dari total suara sah, sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU 10/2016.
Apalagi dalam perkara ini yang disoal bukan menyangkut perselisihan hasil peroleh suara, melainkan pelanggaran administrasi seorang Calon.
Menyangkut ketentuan tersebut Hakim MK (Saldi Isra) dalam persidangan dengan agenda mendengarkan jawaban termohon, keterangan pihak terkait dan bawaslu (20 Juni 2025) telah mempertegas bahwa MK berwenang memeriksa dan mengadili terkait perkara yang diajukan pemohon, sehingga terhadap pernyataan dari Kuasa Pihak Terkait yang mengatakan Mahkamah konstitusi tidak berwenang adalah hal yang keliru.
Dalam perkembangannya, MK memang telah mengubah sikap dalam memberlakukan ketentuan ambang batas selisih suara tersebut sebagai syarat formil permohonan perselisihan hasil Pilkada.
Perubahan sikap MK yang tidak lagi sekedar sebagai Mahkamah Kalkulator yang mengurusi angka-angka semata, manakala pemohon dapat meyakinkan Mahkamah tentang alasan-alasan permohonan yang lebih spesifik, seperti terdapat indikasi bahwa pemenuhan asas-asas dan prinsip pemilukada tidak terjadi pada rangkaian tahapan Pemilukada, terdapat kesalahan atau kelalaian dan terjadi peristiwa pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Sebagai salah satu Contoh Putusan MK yang menyampingkan ambang batas selisih suara bahkan tenggang waktu pengajuan perkara, yakni Putusan MK Nomor : 135/PHP.BUP-VIX 2021, yang mendiskualifikasi Pasangan Calon Nomor Urut 2 Orient Patriot Riwu Kore dan Thobias Uly dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sabu Raijua Nusa Tenggara Timur Tahun 2020.
Pada Perkara Hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) Kota Palopo yang diajukan oleh Pemohon Paslon Nomor Urut 03 (RMB-ATIKA), Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah memeriksa dan mendengar seluruh keterangan, termohon, pihak terkait dan Bawaslu bahkan melalukan agenda pemeriksaan tambahan kepada Calon Wakil Walikota Nomor Urut 04 Ahmad Syarifuddin Daud guna lebih meyakinkan Mahkamah dalam mengambil Keputusan.
Pemohon mendalilkan Calon Walikota Palopo Nomor Urut 04 (Naili) pada pokoknya dianggap memalsukan Tanda Terima penyerahan SPT Tahunan Tahun 2024, karena terdapat dua tanda terima penyampaian SPT Tahunan Tahun 2024 atas nama Naili, satu tertanggal 25
Februari 2025 dan satunya lagi tertanggal 6 Maret 2025.
Dalam Persoalan ini, MK sepertinya tidak ingin lama-lama berdebat pada hal yang bersifat teknis administratif, dengan tidak berfocus menggali dan mencari tahu lebih mendalam penyebab kenapa hal demikian (2 Surat yang berbeda) bisa terjadi.
MK lebih menitikberatkan pertimbangannya pada persoalan ini dengan melihat kebenaran materiil (berdasarkan fakta) bahwa yang bersangkutan melaksanakan kewajiban pajak/seorang yang taat pajak diperkuat dengan adanya Surat Keterangan Fiskal Kementerian Keuangan Nomor: KET-00121/SKF-CT KPP.2103/2025 yang menerangkan tidak ada tunggakan pajak atas wajib pajak atas nama yang bersangkutan. Kemudian dengan adanya keterangan KPP Pratama Tanjung Priok yang menyatakan bahwa Calon Walikota atas nama Naili telah melaporkan SPT Tahunan pada tanggal 6 Maret 2025, juga SPT Tahunan 4 tahun sebelumnya, juga dinyatakan telah melaksanakan kewajiban pajak, membuat keyakinan Mahkamah menjadi bulat bahwa terhadap yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan.
Bahkan perbaikan diluar tahapan yang dilakukan KPU sebagi bentuk menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu, Mahkamah tidak menyoal hal tersebut karena menurutnya secara faktual Calon Walikota atas nama Naili telah memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 7 ayat (2) huruf m UU 10/2016 karena memiliki NPWP dan memiliki laporan pajak pribadi setidaknya dalam 5 (lima) tahun terakhir.
Hakim MK lebih menitikberatkan pertimbangannya pada keadilan substantif dibanding keadilan administratif terhadap persoalan ini.
Berkenaan dengan anggapan bahwa Akhmad Syarifuddin tidak mengumumkan status mantan terpidananya secara jujur dan terbuka kepada masyarakat. Dalam persoalan ini banyak yang menganggap hal tersebut serupa dengan Kabupaten Pasaman yang diputus PSU oleh MK, sebab keduanya (Perkara Palopo dan Pasaman) menyangkut Calon yang tidak jujur dan terbuka mengumumkan mengenai status terpidananya. Walaupun serupa, tetapi hal tersebut tentu tidak sama.
Dalam perkara Pasaman SKCK dari Kepolisian dan Surat Keterangan dari Pengadilan Negeri kedua-duanya tidak menerangkan mengenai Status Anggit Kurniawan Nasution (Calon Wabup Pasaman Pilkada 2024) sebagai mantan terpidana, sehingga didiskualifikasi oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Beda halnya dengan perkara Palopo yang pada Surat Keterangan Pengadilan mengatakan tidak pernah terpidana, namun SKCK dari Polres Palopo yang diserahkan bersangkutan (Ahmad Syarifuddin Daud) ke KPU, telah menerangkan bahwa yang bersangkutan memiliki catatan kepolisian karena melanggar Pasal 187 ayat (2) jo. Pasal 69 huruf c UU 10/2016 dan pada formulir permohonan pembuatan SKCK mengisikan keterangan bahwa dirinya pernah dihukum/dipidana karena melanggar UU 10/2016. (Pada Proses Awal Pencalonan Sebelum Putusan PSU).
Walaupun Mahkamah Konstitusi menyalahkan anggapan Akhmad Syarifuddin Daud terkait penjatuhan hukuman pidana dengan masa percobaan bukan merupakan pemidanaan adalah hal yang keliru serta tidak membenarkan perbuatan Calon Wakil Walikota Palopo (Ahmad Syarifuddin Daud), karena menyerahkan surat keterangan dari PN Palopo perihal tidak pernah sebagai terpidana kepada KPU Kota Palopo (Proses Awal Pencalonan sebelum putusan PSU).
Namun Hakim MK sepertinya menyampingkan hal tersebut dengan mempertimbangkan SKCK yang bersangkutan dimana telah menerangkan mengenai statusnya sebagai mantan terpidana.
Apalagi persoalan mengenai Surat Keterangan dari Pengadilan yang dianggap janggal karena menerangkan status tidak pernah sebagai terpidana namun faktanya yang bersangkutan pernah sebagai terpidana, merupakan persoalan yang terjadi pada saat Pilkada awal (27 November 2024), bukan saat Proses Pelaksanaan PSU, sehingga terhadap persoalan ini sepertinya Hakim MK hanya ingin memberikan pembelajaran dan mengingatkan bagi semua pihak, agar kedepannya lebih cermat dan teliti dalam memahami keterpenuhan syarat Calon dalam Pilkada terkhusus bagi Calon yang pernah sebagai terpidana.
Jika melihat dalam konteks Pelaksanaan PSU, anggapan bahwa Akhmad Syarifuddin tidak memenuhi syarat karena tidak jujur mengumumkan statusnya sebagai mantan terpidana, maka tindakan yang dilakukan bersangkutan dengan mengumumkan statusnya sebagai mantan terpidana kepada masyarakat atau pemilih sebelum penetapan pasangan calon peserta PSU (sebelum adanya rekomendasi oleh Bawaslu Kota Palopo) dengan memasang pengumuman di media massa pada (7 Maret 2025) mengenai statusnya sebagai mantan terpidana, menjadi nilai plus dimata Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) karena yang bersangkutan (Ahmad Syarifuddin Daud) dianggap telah berinisiatif melakukan “Corrective Action”, terlepas dari inisiatif tersebut dilakukan karena adanya hal-hal lain yang mendorongnya, MK tidak lagi menganggap penting hal tersebut untuk diperdebatkan.
Bahkan jika berbicara terkait tindakan yang bersangkutan dengan mengumumkan status dirinya setelah adanya rekomendasi dari Bawaslu Palopo (setelah penetapan pasangan Calon PSU), Hakim MK tidak melihat hal tersebut sebagai sebuah pelanggaran terhadap tahapan yang telah ditetapkan.
Hal tersebut karena Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menggunakan pendekatan filosofis dalam melihat ketentuan yang mengharuskan setiap pasangan Calon harus mengumumkan secara jujur dan terbuka mengenai status dirinya pernah sebagai terpidana, yang tidak lain mengandung substansi agar masyarakat sebagai calon pemilih mendapatkan informasi, sehingga dapat menilai kelayakan seorang Calon yang akan dipilihnya.
Berdasarkan pemaknaan tersebut Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menganggap bahwa masih terdapat waktu yang cukup sebelum hari H pencoblosan (24 Mei 2025) sehingga maksud dari ketentuan tersebut masih dapat tercapai. Mungkin persoalannya akan berbeda jika perbaikan/pengumumannya dilakukan 3 hari menjelang pencoblosan (masa tenang).
Juga yang paling mendasari persoalan ini karena Putusan MK Nomor : 168 PHPU.WAKO-XXIII/2025 yang didalamnya terdapat perintah agar terhadap Akhmad Syarifuddin tidak perlu dilakukan verifikasi ulang apabila hendak mengikuti PSU Walikota dan Wakil Walikota Palopo, namun dalam proses PSU kemudian dibukakan kembali ruang untuk dilakukan verifikasi dan perbaikan.
MK telah mempertegas kembali putusannya tersebut dengan mengatakan bahwa ketentuan dalam putusan tersebut tidak berarti calon yang bersangkutan akan dibiarkan begitu saja, bilamana dalam penyelenggaran PSU ditemukan fakta hukum masih terdapat calon yang tidak memenuhi persyaratan.
Pada persoalan menyangkut Akhmad Syarifuddin Daud tersebut, terdapat hal yang cukup menarik, dimana Mahkamah dalam poin pertimbangan putusannya menyoal terkait Dalil Pemohon yang mempersoalkan Keterpenuhan Syarat Ahmad Syarifuddin selaku Calon Wakil Walikota Palopo. Mahkamah seakan-akan mempertanyakan balik kepada Pemohon mengapa baru mempersoalkan status pernah terpidana Akhmad Syarifuddin tersebut diajukan setelah dilakukan PSU. Padahal Menurut Mahkamah dengan menggunakan istilah “dalam batas penalaran yang wajar”, katanya sulit untuk meyakini bahwa Pemohon tidak mengetahui status Akhmad Syarifuddin sebagai mantan terpidana kasus tindak pidana Pemilu pada tahun 2018.
Mahkamah menyampaikan hal tersebut karena Pemohon dalam hal ini (Rahmat Masri Bandaso) adalah Calon wakil walikota yang pasangannya (Calon Walikota) difitnah oleh Akhmad Syarifuddin saat itu sehingga berstatus sebagai terpidana. Oleh karena itu Pemohon menurut Mahkamah sepatutnya mempersoalkan ketidakterpenuhan syarat demikian pada proses pencalonan Pilkada 27 November 2024 (Pengajuan perkara PHPU diawal sebelum PSU).
Hakim MK sepertinya ingin melihat pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan ketidakterpenuhan syarat administrasi calon haruslah benar-benar dilandasi dengan sebuah itikad baik, kejujuran dan murni karena kepentingan pemohon telah dilanggar dan diabaikan oleh pihak termohon.
Mahkamah tidak ingin kecolongan dari gugatan-gugatan yang terkesan sebagai sebuah strategi yang telah diatur oleh pemohon yang telah mengetahui hal tersebut jauh-jauh hari, tetapi menyimpan pelanggaran administrasi dari Rivalitasnya dalam Pilkada, untuk menjadi senjata atau bahan gugatan, sebagaimana yang sempat disinggung dalam persidangan oleh Ahli pihak terkait Feri Amsari dengan mendasarkan pada pendapat Lowenstein.
Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara ini dengan seadil-adilnya, walaupun ada pihak yang kemudian menganggap putusan tersebut tidak memberikan rasa keadilan padanya, hal tersebut wajar-wajar saja sebab pada dasarnya keputusan tidak dapat mengenakan semua pihak. Karena putusan MK bersifat final and binding artinya putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh, maka sudah barang tentu keputusan tersebut akan tetap berlaku bahkan jika semua orangpun menolaknya.
Sebuah harapan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam perkembangannya belakangan ini bukan lagi hanya memeriksa dan mengadili hal-hal yang menyangkut hasil pemungutan dan penghitungan suara.
Namun juga turut andil dalam memastikan keterpenuhan syarat Calon dalam Pilkada berjalan berdasarkan prinsip dan asas pemilu, melahirkan pemilukada yang berkeadilan, demokratis, dan berintegritas. Mahkamah tidak boleh menghindar dalam mengadili masalah Hukum pemilukada yang terkait dengan tahapan pemilukada sepanjang hal demikian memang terkait dan berpengaruh terhadap hasil perolehan suara peserta pemilukada sebab pada dirinya telah dilekatkan fungsi “The guardian of democracy”.
Walaupun dalam pelaksanaan kewenangan tersebut selalu menjadi perdebatan hukum yang panjang dan acapkali menjadi bahan eksepsi pihak termohon/terkait dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga hal tersebut haruslah segera diselesaikan dengan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemilihan (Pemilukada) dan Redesain Kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan melakukan Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.