Opini

Kegagalpahaman Syarat Cakada Jadi Sorotan, Konsistensi Putusan MK Diuji

19
×

Kegagalpahaman Syarat Cakada Jadi Sorotan, Konsistensi Putusan MK Diuji

Sebarkan artikel ini
Sekretaris HMI Cabang Palopo, Faisal Baharuddin

OPINI – Jagat media sosial diramaikan dengan komentar dari beragam kalangan terhadap proses persidangan di MK terkait PHPU/Gugatan Hasil PSU Pilkada Kota Palopo tahun 2024 yang dilaksanakan pada 24 Mei 2025.

Jika melihat proses persidangan di MK secara detail dan seksama, maka yang menjadi sumber awal masalah, karena tidak adanya pemahaman yang utuh dan clear oleh para pihak, terkait syarat calon kepala daerah, terkhusus bagi yang ingin nyalon tetapi pernah berstatus sebagai terpidana.

Terjadi perbedaan tafsir oleh para pihak, sehingga perdebatan yang muncul: apakah calon yang pernah sebagai terpidana karena melakukan tindak pidana dengan ancaman di bawah dari 5 tahun tidak berkewajiban untuk mengumumkan dirinya secara jujur dan terbuka sebagai mantan terpidana? Ataukah memang kewajiban tersebut hanya berlaku bagi calon yang pernah sebagai terpidana karena melakukan tindak pidana dengan ancaman 5 tahun atau lebih?

Lalu ketentuan yang sebenarnya terkait persoalan tersebut seperti apa?

Kalau kita mengikuti perjalanan revisi UU Pilkada, serta mempelajari beberapa putusan MK seperti dalam:

Putusan Nomor: 71/PUU-XXIV/2016 tentang pemberlakuan syarat calon mantan narapidana dan status kepala daerah terpilih yang menjadi terdakwa,
Putusan Nomor: 02/PHPU.BUP-XXIII/2025 tentang PSU Pilkada Pasaman tahun 2024,
Putusan Nomor: 260/PHPU.BUP-XXIII/2025 tentang PSU Pilkada Boven Digoel tahun 2024,

Baca juga:  Sidang Lanjutan Pilkada Palopo di MK: Disdik dan Sudin DKI Jakarta Tak Temukan Nama Trisal Tahir

maka tafsir mengenai poin syarat calon tersebut sebenarnya telah jelas dan terang, dengan melahirkan 2 poin ketentuan yang harus dipenuhi jika mantan terpidana ingin nyalon:

1. Bagi mantan terpidana dengan ancaman di bawah 5 tahun yang ingin nyalon, tidak perlu menunggu waktu jeda 5 tahun pasca putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi berkewajiban untuk mengumumkan dirinya secara jujur dan terbuka sebagai mantan terpidana.

2. Beda halnya dengan ancaman 5 tahun atau lebih, mantan terpidana yang ingin nyalon boleh-boleh saja, tetapi menunggu waktu jeda 5 tahun pasca putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan juga berkewajiban mengumumkan dirinya secara jujur dan terbuka sebagai mantan terpidana.

Sehingga kesimpulannya, baik ancaman hukumannya di bawah 5 tahun maupun 5 tahun atau lebih, karena statusnya tetap sama yakni sebagai mantan terpidana, maka berkewajiban dan mempunyai tanggung jawab moral untuk mengumumkan dirinya secara jujur dan terbuka, agar masyarakat sebagai pemilih dapat mengetahui mengenai latar belakang calon yang akan dipilihnya.

Baca juga:  Saatnya Memikirkan THR untuk Petani Jelang Idulfitri

Imbas dari kegagalpahaman para pihak dalam memaknai poin persyaratan tersebut, menimbulkan konsekuensi berkas administrasi yang harus diserahkan sebagai bentuk pemenuhan syarat calon menjadi tidak jelas kedudukannya.

Lantas sebagai seorang mantan terpidana, sebenarnya berkas administrasi apa yang harus diserahkan oleh seorang calon dalam proses pencalonan pemilihan kepala daerah? Apakah memang ia harus menyerahkan surat keterangan pernah sebagai terpidana yang diterbitkan oleh pengadilan negeri setempat?

Tentu tidak!!! Sebab pengadilan hanya berwenang mengeluarkan surat keterangan tidak pernah sebagai terpidana, bukan surat keterangan pernah sebagai terpidana. Maka calon yang tidak pernah sebagai terpidana sajalah yang harus ke pengadilan mengambil surat keterangan tersebut.

Untuk calon yang pernah sebagai terpidana, baik ancaman hukuman di bawah maupun di atas 5 tahun atau lebih, haruslah menyerahkan:

Surat dari Pemimpin Redaksi media massa, Surat keterangan dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Rumah Tahanan, dan/atau Kepala Balai Pemasyarakatan, Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan dapat dilegalisir oleh lembaga yang berwenang,
Surat keterangan yang menyatakan bahwa calon yang bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang,

Baca juga:  17 Inovasi Produk Latpim, Angin Segar bagi Pemda untuk Membumikan Pelayanan Publik di Luwu Utara

sebagaimana yang telah diatur dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1229 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Pendaftaran, Penelitian Persyaratan Administrasi Calon, dan Penetapan Pasangan Calon dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Lantas siapa yang harus disalahkan dalam perkara ini?

Yah, lagi-lagi yang salah adalah kegagalpahaman para pihak dalam memaknai regulasi terkait syarat calon dalam pemilihan kepala daerah, yang kini menjadi bahan gugatan yang sedang bergulir di Mahkamah Konstitusi dan menunggu putusan yang dijadwalkan akan dibacakan Selasa, 8 Juli 2025.

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai The Guardian of Democracy kini dibayangi dengan sikap konsistensinya dalam memutus perkara tersebut.

Sebab sebelumnya MK telah memutuskan beberapa perkara yang persoalannya secara substansi memiliki kemiripan dengan perkara tersebut, seperti putusan MK PSU Pilkada Pasaman dan Boven Digoel.

Penulis : Faisal Baharuddin
Sekretaris HMI Cabang Palopo