NasionalNewsPilihan Editor

Menyusuri Sungai dan Laut, Penghulu KUA Pastikan Negara Hadir di Pulau Terluar Mandailing Natal

37
×

Menyusuri Sungai dan Laut, Penghulu KUA Pastikan Negara Hadir di Pulau Terluar Mandailing Natal

Sebarkan artikel ini
Penghulu KUA Kabupaten Mandailing Natal (Madina)

Kabarpublic.com – Pengabdian aparatur negara tak selalu berlangsung di ruang nyaman dan mudah dijangkau.

Di ujung Kabupaten Mandailing Natal (Madina), tepatnya di Pulau Tamang, Kecamatan Batahan, kehadiran negara diwujudkan melalui dedikasi seorang penghulu Kementerian Agama yang rela menembus sungai dan lautan demi memastikan layanan pencatatan perkawinan tetap diterima masyarakat.

Adalah Mangku Aulia Lubis, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tambangan sekaligus Penghulu Kecamatan Batahan, yang menjalankan tugas pelayanan keagamaan dengan menempuh medan berat menuju wilayah kepulauan terluar tersebut.

Pria kelahiran Pulau Tamang tahun 1980 ini harus menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 69,5 kilometer dari kantor KUA untuk mencapai lokasi tugasnya.

Perjalanan itu bukan sekadar soal jarak, melainkan rangkaian tantangan.

Dari kantor KUA, Mangku Aulia mengendarai sepeda motor menuju tepian sungai, menyeberang menggunakan getek, kemudian melanjutkan perjalanan dengan kapal kecil menuju Pelabuhan Palimbungan.

Dari pelabuhan tersebut, ia kembali menyeberangi laut menuju Pulau Tamang.

Baca juga:  Bupati Luwu Resmikan Dua Jembatan Kokoh di Latimojong, Wujud Komitmen PT MDA Bangun Daerah

Seluruh perjalanan dapat memakan waktu hingga tiga jam, bahkan lebih ketika cuaca tidak bersahabat.

“Awalnya, jujur saja saya takut,” ujar Mangku Aulia sambil mengenang pengalaman pertamanya menjalani tugas di wilayah Mandailing, Minggu (21/12/2025).

“Naik getek dan kapal bot kecil dengan ombak tinggi, pelampung pun belum tentu ada. Saat turun di pelabuhan, ombak sering menghantam tangga. Deg-degan sekali,” tambahnya.

Pulau Tamang merupakan wilayah dengan keterbatasan infrastruktur dasar.

Hingga kini belum teraliri listrik PLN. Warga mengandalkan mesin diesel desa serta sebagian kecil panel surya untuk memenuhi kebutuhan listrik.

Akses internet nyaris tidak tersedia, hanya jaringan GSM untuk layanan telepon. Meski demikian, kehidupan sosial masyarakat berjalan hangat dan penuh keramahan.

“Memang sepi, tapi nyaman. Warganya ramah sekali. Kalau ada pejabat atau petugas datang, mereka merasa diperhatikan. Pernikahan di sana menjadi momen besar. Mereka senang karena merasa negara hadir,” ungkapnya.

Kecamatan Batahan sendiri terdiri dari 18 desa, dengan jumlah peristiwa pernikahan rata-rata mencapai 140 hingga 150 per tahun.

Baca juga:  Indonesia, Malaysia, dan Nigeria Tandatangani MoU Kerjasama Pengelolaan Wakaf

Empat desa di antaranya hanya dapat dijangkau dengan menyeberangi laut.

Dalam kondisi tersebut, kehadiran KUA bukan sekadar menjalankan fungsi administratif, tetapi menjadi simbol nyata kehadiran negara di wilayah terluar.

“Motivasi saya sederhana. Mereka sangat mengharapkan kehadiran kita. Daerah seperti ini jarang disentuh pembinaan keagamaan. Kalau kita datang, mereka merasa senang dan bahagia,” tutur Mangku Aulia.

Tak jarang, setelah prosesi akad nikah, ia meluangkan waktu duduk bersama warga, mendengarkan cerita kehidupan mereka, berdiskusi tentang kebutuhan keagamaan, hingga persoalan sosial desa.

Sambutan yang diberikan pun sederhana, mulai dari ikan hasil tangkapan laut, hidangan seadanya, hingga secangkir kopi hangat, namun sarat makna kebersamaan.

“Bukan soal apa yang mereka beri, tapi bagaimana mereka menyambut. Itu yang membuat kami tetap semangat,” katanya.

Ia pun berharap adanya dukungan sarana operasional yang lebih memadai dari pemerintah.

Baca juga:  Kisah Guru Honorer yang Mengabdi Selama 20 Tahun Hingga Akhirnya Lulus PPPK

“Kendaraan dinas yang sesuai medan sangat dibutuhkan. Jalur berlumpur, banjir, dan laut ini bukan medan biasa,” imbuhnya.

Apa yang dilakukan Mangku Aulia Lubis bukan sekadar menjalankan tugas pencatatan perkawinan, melainkan merawat harapan masyarakat di wilayah terluar agar tetap merasa diperhatikan, diakui, dan dilayani secara bermartabat.

Di sanalah nilai pengabdian Kementerian Agama menemukan ruhnya melayani bukan karena mudah, tetapi karena dibutuhkan.

“Pengabdian di pelosok adalah pengingat bahwa tugas negara bukan memilih tempat yang nyaman, melainkan hadir di titik paling jauh ketika masyarakat memanggil. Pelayanan yang berdampak bukan diukur dari jarak tempuh, melainkan dari seberapa jauh hati kita mau melangkah untuk sesama,” ujarnya.

Selama masih ada masyarakat yang menunggu di seberang laut, di balik sungai, dan di ujung negeri, pengabdian itu akan terus berlayar, membawa keyakinan bahwa setiap langkah kecil yang tulus merupakan bagian dari kerja besar membangun kemanusiaan. (**)