NasionalPendidikan

Kisah Penyintas Banjir dari Aceh yang Juarai Olimpiade PAI 2025

×

Kisah Penyintas Banjir dari Aceh yang Juarai Olimpiade PAI 2025

Sebarkan artikel ini
Khaidar Munarzi, penyintas banjir dari asal Krueng Mane, Aceh Utara, juara PAI Fair 2025.

Kabarpublic.com – Banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Aceh beberapa hari terakhir tidak hanya merendam rumah warga dan memutus akses transportasi, tetapi juga hampir menggagalkan langkah anak-anak berprestasi Aceh untuk mengikuti Grand Final Olimpiade Pendidikan Agama Islam (PAI) 2025 di Jakarta.

Namun di tengah bencana, semangat mereka justru semakin menguat hingga berhasil menorehkan prestasi terbaik.

Dua peserta asal Aceh, Khaidar Munarzi, siswa kelas 2 SMP IT Muhammadiyah Bireuen, dan M. Al-Walid dari SMAN 1 Kuta Makmur, Aceh Utara, berhasil meraih Juara 1 pada kompetisi tersebut.

Khaidar memenangkan lomba pidato tingkat SMP, sementara Al-Walid menjadi juara pada jenjang SMA.

Pengumuman pemenang disampaikan pada penutupan Grand Final PAI Fair 2025 di Mercure Convention Center Ancol, Jakarta Utara, Selasa (2/12/2025), yang ditutup oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Kamaruddin Amin.

Ajang yang berlangsung sejak 30 November ini sebelumnya dibuka oleh Wakil Menteri Agama, Romo Muhammad Syafi’i.

Baca juga:  Atlet Karate Asal Luwu Sumbang Emas untuk Sulsel di POMNAS XIX 2025

Khaidar, yang tinggal di Krueng Mane, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, menghadapi situasi berat sebelum keberangkatannya.

Rumah kayu dua lantai milik keluarganya miring dihantam banjir. Ketinggian air bahkan mencapai lantai dua, memaksa keluarganya mengungsi di tengah malam.

“Air sudah sampai di lantai dua rumah kami,” ungkap Khaidar sedih.

Akses menuju Banda Aceh juga terputus akibat putusnya jembatan Kuta Blang dan beberapa jembatan lain di sepanjang aliran Krueng Peusangan. Namun tekadnya tidak surut.

Pada Minggu, 30 November, Khaidar bersama ibunya menyeberangi sungai menggunakan perahu masyarakat demi bisa melanjutkan perjalanan.

“Walau takut karena arus deras, saya dan ibu tetap menyeberang. Bayar 5 ribu per orang,” ujarnya.

Setiba di Banda Aceh, keesokan paginya ia langsung terbang ke Jakarta dengan Batik Air.

Tiba di Mercure Ancol pada Senin sore, Khaidar hanya memiliki waktu dua jam sebelum tampil di panggung perlombaan.

Kisah serupa dialami Al-Walid. Ia juga harus menembus jalur darat yang terputus hingga tiket pesawatnya hangus.

Baca juga:  Tim Sar Evakuasi 52 Warga Kadundung Luwu yang Terisolir Akibat Banjir Bandang

Meski begitu, ia tetap tiba di Jakarta bersama rombongan peserta Aceh lainnya.

Menurut Kabid PAI Kanwil Kemenag Aceh, Aida Rina, situasi peserta sangat memprihatinkan akibat banjir yang meluas.

Dari 15 finalis Aceh, hanya 11 peserta yang berhasil tiba di Jakarta.

Dua peserta mengikuti lomba secara daring, satu tertahan di perjalanan menuju Medan, dan satu peserta lainnya belum dapat dihubungi karena rumahnya terdampak parah.

Salah satu peserta daring, Ayrakanz dari Langsa, mengikuti lomba sambil menangis karena rumahnya terendam banjir dan akses transportasi sepenuhnya terputus. Panitia memberikan pendampingan penuh.

Peserta lainnya, Safwina Tinambunan dari Aceh Singkil, sudah menempuh perjalanan lima jam menuju Banda Aceh sebelum akhirnya kembali karena banjir Aceh Selatan.

Ia tetap ikut lomba secara daring meski tiket keberangkatan dan kepulangannya hangus.

Sementara itu, Niswatul Husna dari Aceh Timur sempat hilang kontak selama dua hari sebelum diketahui berada di Medan.

Baca juga:  Buka Fakultas Kedokteran, Rektor: UMB Palopo Berikan Beasiswa Bagi Wija To Luwu

Namun ia sudah tak mungkin lagi melanjutkan perjalanan ke Jakarta.

Yang paling dikhawatirkan adalah Baihaqi, finalis Olimpiade PAI asal Bireuen, yang hingga kini belum dapat dihubungi.

Ada pula Intan Mataul Hayati, yang tetap berangkat ke Jakarta meski keluarganya tak bisa dihubungi akibat jaringan terputus.

Kebetulan ia sedang berada di Banda Aceh untuk mengikuti perkuliahan UT, sehingga dapat melanjutkan perjalanan.

Menurut Aida Rina, perjalanan para peserta Aceh tahun ini adalah kisah tentang keberanian, ketabahan, dan kecintaan pada pendidikan.

“Ketika kampung halaman mereka masih bergumul dengan air bah, Khaidar dan kawan-kawan berdiri gagah di panggung nasional. Mereka ingin menunjukkan bahwa Aceh kuat, Aceh mampu, dan Aceh tak pernah menyerah,” ucapnya.

Meski dihadang musibah besar, kontingen Aceh tetap mampu meraih prestasi membanggakan dengan memperoleh satu juara dua dan dua juara satu pada beberapa kategori lomba. (**)